Oleh, Dalem Tehang
BERPISAH dengan pak Hadi di selasar depan blok, aku kembali ke Blok B sedang pak Hadi ke Blok C. Mayoritas penghuni rutan pada senja itu, masih banyak yang berkeliaran. Memanfaatkan waktu di luar kamar.
Selepas mandi sore, aku berdiam di kamar. Mengambil buku catatan harian. Dan menuliskan semua pengalaman hari ini. Sampai kemudian terdengar suara mengaji dari masjid. Pertanda sebentar lagi waktunya solat Maghrib.
Karena badan terasa kurang fit, aku hanya maghriban di dalam kamar. Pun saat waktunya Isya datang. Semua aku lakukan di dalam kamar.
Rudy yang mengetahui aku tidak ke luar kamar untuk menjalankan ibadah di masjid sebagaimana biasanya, membuatkanku teh manis. Langsung dicampur dengan tolak angin. Minuman hangat itu menjadi begitu enak dan melegakan saat memasuki tenggorokan.
“Baiknya makan sekarang aja, om. Habis itu minum obat dan istirahat,” kata Rudy, setelah aku meneguk minuman hangat buatannya, beberapa kali.
Seperti biasa, aku dan Rudy makan di bagian depan kamar. Sambil berbincang, kami menikmati makan malam berlauk ikan asin dan tahu sambel kecap.
“Nah, pas ini. Bang Mario lagi makan. Ini ada tambahan lauk, bang,” sebuah suara mendadak muncul di depan jeruji besi, mengejutkan aku dan Rudy yang sedang makan. Ternyata bos kamar 25. Bupati muda yang mendekam di sel karena kasus gratifikasi.
Dengan wajah sumringah, pria berusia 40 tahunan itu, memberiku satu bungkus makanan siap saji. Berisi tiga potong ayam goreng krispi dan dua kantong kecil kentang goreng.
“Alhamdulillah, terimakasih banyak, Bos,” ucapku, ketika menerima pemberiannya.
“Sama-sama, bang. Bisa nambah lauk buat makan malemnya,” sahut sang bupati, dan segera meninggalkan kamarku.
Aku dan Rudy menambah nasi. Yang memang tersedia sejak petang dengan membeli di kantin. Berlaukkan ayam goreng krispi dari produk makanan siap saji terkenal, membuat kami merasakan kenikmatan yang lebih, dalam makan malam kali ini.
“Baik bener bos kamar 25 itu ya, om. Selama ini, kalau dia banyak makanan, sering berbagi ke kamar-kamar lain. Malem ini kita yang kebagian,” ujar Rudy, beberapa saat kemudian.
“Iya memang, Rud. Orangnya baik. Rendah hati dan mau berbagi. Om pernah baca sebuah buku yang ada di rak kamar kita ini, disana dituliskan ada dua sifat seorang muslim. Yang pertama, ketika dalam keadaan punya, ia mendahulukan orang lain, padahal dirinya sendiri sebenarnya butuh. Yang kedua, ketika dalam keadaan tidak punya, ia menjaga kehormatan dirinya. Jadi, bos besar kamar 25 itu bener-bener muslim sejati,” kataku, mengurai.
Di saat kami masih makan sambil berbincang ringan, seorang tamping yang bertugas malam, melewati depan kamar kami. Ia melihat aku dan Rudy sedang makan.
“Kalau masih ada makanannya, minta sih, pakde. Belum makan dari pagi,” kata tamping berusia 28 tahunan itu, dengan wajah serius.
Tanpa banyak bicara, aku minta Rudy memberikan satu potong ayam krispi yang masih ada, untuk tamping tersebut.
“Tapi nasinya sudah nggak ada. Tinggal ayam sama saos dan sambel aja,” kata Rudy.
“Nggak apa-apa. Nanti aku minta nasi ke kamar lain. Terimakasih banyak, pakde,” ujar tamping tersebut setelah menerima pemberian Rudy, dan bergerak ke kamar lain.
“Bener juga kata om ya. Kalau rejeki kita pasti selalu ada, dan ada aja kesempatan kita buat berbagi,” kata Rudy, setelah kembali meneruskan makannya.
“Jangan pernah lagi kamu raguin kuasanya Tuhan, Rud. Yang penting tetep aja sabar, tenang, dan ikhlas. Nggak bakal ada ujian di atas kemampuan kita ngadepinnya,” sahutku, dengan santai.
“Ngomong-ngomong, aku mau belajar solat. Mau nggak om ngajarinya?” kata Rudy. Tiba-tiba.
“Alhamdulillah. Gampang belajar solat itu, Rud. Habis makan ini, kamu lihat buku yang numpuk di atas rak deket tempat om itu. Cari buku soal solat. Terus baca dan pahami, selanjutnya praktekin,” tanggapku.
“Oh, di rak itu ada ya om buku pelajaran solat? Rudy selama ini nggak tahu, om,” katanya, dengan cepat.
“Ada, om sudah lihat kok. Buku yang isinya soal agama banyak disitu, harusnya kamu manfaatin untuk nambah pengetahuan selama disini, Rud,” jawabku.
“Tapi om tetep mau ngajari aku solat kan?” tanya Rudy lagi, sambil menatapku.
“Iyalah, mau om ngajari kamu. Tapi bagusnya, kamu baca dulu tata cara dan bacaan-bacaannya. Nanti mana yang kamu belum paham, om beritahu,” kataku.
“Kenapa nggak dari awal aja om ajari Rudy. Jadi lebih simpel mahaminya,” ujar Rudy, menyela.
“Itu namanya kamu mau cari gampang tapi lama mahaminya, Rud. Baca dulu tata cara dan aturan-aturan, juga bacaan solatnya. Prakteknya kayak mana, nanti sama om. Kalau kamu bener-bener mau belajar solat, tunjukin kesungguhanmu,” jelasku dengan serius.
“Siap, om. Habis makan ini, Rudy cari buku-buku soal solat dan langsung baca. Berarti besok subuh, Rudy sudah bisa solat,” tanggap Rudy dengan tegas.
Aku acungkan jempol ke arah Rudy, seraya tersenyum. Ada kebanggaan dan keharuan melihat keinginan anak muda ini belajar solat.
Dan benarlah keyakinan banyak orang, bila hidup itu seperti berlayar. Lebih baik menikmati perjalanannya daripada hanya menunggu sampai di tujuan.
Rudy menunjukkan tekadnya untuk belajar solat. Selepas mencuci piring makan malam, ia memeriksa satu demi satu buku yang ada di rak kamar bagian dalam.
Belasan buku tersebut merupakan peninggalan penghuni kamar 20 sebelumnya. Entah siapa saja. Yang sengaja ditinggalkan disana untuk menjadi bacaan dan penambah pengetahuan bagi penghuni berikutnya. Tradisi baik yang berjalan lazim di kawasan kompleks penjara.
“Ketemu bukunya, om. Ada dua yang isinya soal solat. Rudy baca semua dulu ya,” kata Rudy, sambil membawa dua buku ke arahku. Yang masih duduk di ruang depan kamar tahanan, sambil menikmati sebatang rokok.
“Alhamdulillah. Baca dan pahami yang penting, soal solat wajib aja dulu,” sahutku, dengan rasa haru.
Aku pandangi Rudy yang duduk di lantai sambil membuka-buka buku mengenai tata cara solat yang ada di tangannya. Di usia 26 tahun, anak muda ini baru tergerak untuk mempelajari cara berkomunikasi langsung seorang makhluk dengan Sang Khaliq.
Pikiranku sempat mempertanyakan bagaimana cara orangtuanya memberikan pendidikan keagamaan selama ini kepada Rudy. Namun mendadak, seperti ada suara yang mengingatkan. Bila aku pun masih belum berbuat apa-apa dalam memberikan pengetahuan dan pendidikan keagamaan kepada anak-anakku.
Spontan aku langsung istighfar. Menundukkan wajah, menatap lantai kamar tahanan, dan memohon ampun kepada Yang Maha Pengampun atas sempat hadirnya pikiran yang menyoal orangtua Rudy.
“Om, ini ada kata-kata bagus buat kita yang lagi mau belajar agama,” kata Rudy tiba-tiba, sambil menatap satu halaman pada buku yang ada di tangannya.
“Apa itu, Rud?” tanyaku, penasaran.
“Ditulisnya begini, om. Kalau kalian belajar agama menggunakan pandangan mata, maka yang kalian lihat hanyalah huruf-hurufnya. Kalau kalian belajar agama menggunakan akal pikiran, yang kalian temukan hanya sebuah pengetahuan. Kalau kalian belajar agama menggunakan hati, kalian akan merasakan indahnya kasih sayang dan cinta yang suci. Dan kalau kalian belajar agama menggunakan jiwa, maka kalian akan ketahui siapa pemilik agama, juga ilmu yang sesungguhnya,” kata Rudy, membacakan tulisan di dalam buku tersebut.
“Luar biasa itu, Rud. Itulah cara Allah merespon tekadmu buat belajar solat. Langsung kamu dikasih-Nya petunjuk untuk belajar agama dengan baik dan benar,” kataku, dengan suara serius.
“O gitu ya, om. Jadi baru niat aja sudah dapet petunjuk begini bagus ya. Gimana kalau nanti Rudy bisa jalani solat dengan rutin ya, om,” ucap Rudy, ada rasa haru di dalam nada suaranya.
“Itulah kuasanya Allah, Rud. Bismillah aja. Mantepin bener tekadmu buat belajar solat dan jalaninya. Pelan-pelan perbaiki perilaku juga pikiran. Yakin aja, ke depannya kamu akan jadi manusia yang lebih baik dibanding hari ini,” tanggapku dengan penuh kesungguhan.
“Siap, om. Rudy mau belajar agama dengan hati dan jiwa. Rudy bertekad, besok subuh sudah bisa solat. Tapi Rudy nggak punya kain sarung atau celana panjang,” ujarnya lagi.
“Nanti om kasih kain sarung. Tenang aja. Yang penting tekadmu sudah mantap, dan terus jaga kemantapannya,” jawabku, dan segera bergerak mengambil kain sarung yang masih ada di dalam tas kecilku.
“Kasih tahu, gimana biar terus mantep sama tekad belajar solat ini, om?” tanya Rudy. Dengan menatapkan pandangannya ke arahku penuh kesungguhan.
“Sederhana aja kok, Rud. Melangkahlah dengan kesabaran, bertahanlah dengan doa, dan kuatlah dengan keyakinan. Juga jangan biarin apa yang tidak bisa kamu lakuin, ganggu apa yang bisa kamu lakuin,” sahutku, juga menatap Rudy dengan pandangan serius.
Anak muda yang tersangkut kasus penggelapan mobil milik bosnya itu, tersenyum. Lepas. Seakan menemukan dunia baru. (bersambung)