Balada Seorang Narapidana (Bagian 197) -->

Balada Seorang Narapidana (Bagian 197)

Sabtu, 16 Juli 2022, Sabtu, Juli 16, 2022


Oleh, Dalem Tehang

 

BIASANYA gitu sih, bang. Kalau ditanya kenapa, aku sendiri nggak bisa mastiin sebabnya. Tapi namanya rutan, banyak aja kejadian diluar nalar,” jawab Heru.


Heru menunjuk kedua pria yang menjadi sumber pembicaraan kami, telah keluar pos penjagaan dalam. Tampak mereka sedang terlibat perbincangan serius. Aku perhatikan lebih cermat keduanya. Ternyata mereka itu Aris dan Dika.


“Aku tahu mereka, Ru. Aris dan Dika. Kenal baik selama ini. Bahkan Aris sudah ku anggep adek sendiri. Selama ini, mereka cukup royal kok, nggak pelit,” kataku, setelah memastikan kedua pria itu adalah Aris dan Dika.


“Syukur kalau abang kenal baik sama mereka. Yang ku bilang tadi itu penilaianku aja, nggak bermaksud jelek,” ujar Heru.


Aris dan Dika menghentikan langkahnya begitu melihat aku, Heru dan pak Edy sedang duduk di kursi taman, tepat di sisi kiri pintu masuk Blok B.


“Nah, kebetulan Babe ada disini,” kata Aris, dan langsung duduk di kursi yang masih kosong. Bawaannya ia taruh di dekat kakinya.


“Kenapa, Ris?” tanyaku,  kemudian.


“Masakan ikan asin sambel yang buat Babe diambil sama sipir di pos. Katanya, buat lauk mereka makan siang,” jelas Aris, dengan nada bersalah.


“Ya sudah, kan tetep bermanfaat, Ris. Mungkin sipir lebih butuh lauk itu sekarang ini. Ikhlasin aja ya,” tanggapku, dengan tersenyum.


“Maaf bener ini, be. Jadinya batal kasih Babe lauk kesukaan,” ucap Aris, sambil memegang tanganku. 


“Santai aja, Ris. Yang penting kamu sudah berniat baik, dan itu sudah dicatet jadi pahala. Soal nggak terwujud, nggak usah jadi beban. Apalagi, tetep ada yang makannya. Bisa jadi lebih berkah buat sipir itu,” kataku, dengan tetap tersenyum.


Aku pandangi Dika yang sejak tadi hanya berdiri. Ditangannya terdapat dua kantong plastik berisi penuh.


“Mantan tunanganmu jadi dateng, Dika?” tanyaku, sambil menatap mata anak muda itu.


“Jadi, bang. Alhamdulillah. Kayaknya, bakal rutin seminggu dua kali dia besukin aku ke depannya,” kata Dika dengan suara penuh keceriaan.


“Alhamdulillah, tetep optimis ya, Dika. Jangan pernah kehilangan harapan,” lanjutku.


Setelah berbincang beberapa saat, Aris dan Dika berpamitan. Untuk masuk ke kamarnya. Kamar 12 penaling.


“Bener kata kamu, Heru. Ada aja makanan yang diambil sipir dari mereka yang bawa sendiri kiriman keluarganya,” kata pak Edy, beberapa saat kemudian.


“Aku sendiri nggak ngerti kenapa bisa gitu, pak Edy. Yang aku sampein tadi dasarnya dari pengamatan selama ini aja. Maka ku bilang, hidup di rutan ini harus terbiasa sama kejadian diluar nalar. Bukan soal ghaibnya yang nggak karuan dan serem-serem ya, nggak paham aku soal itu. Tapi kejadian-kejadian lahiriyah juga banyak yang aneh-aneh. Ya, kayak yang habis besukan bawa sendiri kirimannya, pasti aja ada yang disita sama petugas,” kata Heru, panjang lebar.   


“Kali kita disini emang diharusin berbagi, pak Edy. Nyadarin kita kalau nggak semua rejeki yang kita terima itu buat kita sendiri,” kataku, menyela. 


“Ya, kalau kita ambil positifnya bisa disimpulin kayak omongan bang Mario itu, pak Edy. Kita disini disuruh terus berbagi. Karena emang faktanya, kan banyak tahanan yang statusnya anak ilang alias AI. Yang nggak pernah diurus sama keluarganya. Masak iya tega, kita makan sepuasnya, sementara kawan sekamar kita makan juga nggak bisa,” Heru melanjutkan.


“Nggak nyangka, kamu punya sikap peduli juga rupanya, Ru,” ujar pak Edy, sambil tersenyum dan menatap Heru.


“Kalau soal itu, jangan tanya, pak. Selama ini, aku selalu nyisihin 5% dari pendapatanku. Aku beliin makanan atau rokok dan ku bagi-bagi ke kawan-kawan AI. Juga ke siapa aja yang butuhin,” kata Heru, dengan wajah serius.


”Maksudmu pendapatan dari aksi tipu-tipu kaum hawa itu ya?” tanya pak Edy, dengan cepat.


Heru menganggukkan kepalanya dengan mantap, seraya tertawa. Ngakak. Aku pun ikut tertawa.


“Nggak bener kamu ini, Ru. Masak ngebagi dosa gitu. Aku nggak setuju sama caramu itu,” kata pak Edy, dan menatap wajah Heru.


“Pak Edy, nggak usahlah kita perdebatin soal halal haramnya apa yang aku bagi. Memang sih, yang aku dapetin dengan cara nggak bener, pastinya haram. Aku paham itu. Tapi, yang aku bagi, kan belum tentu haram. Niatku jelas, ingin berbagi dan bantu sesama yang ngebutuhin,” urai Heru, beberapa saat kemudian.


“Ya terserah aja sih, Ru. Buatku, sesuatu yang asal-usulnya dari haram, ya tetep haram. Tapi aku juga nggak komplain kalau ada yang bilang, yang kamu bagiin itu halal. Masing-masing kita punya pendapat, dan aku hargai perbedaan pendapat itu,” tutur pak Edy, kemudian.


“Cocok, pak Edy. Kita sepakat ya, perbedaan itu bawa hikmah. Biar kita terus saling ngehargai perbedaan. Dan perlu kita tahu, nggak semuanya perlu kita ketahui. Meski, semua yang di dunia ini bukan tidak mungkin, hanya tidak mudah,” sahut Heru.


“Kamu ini ngomongnya pakai bahasa bersayap terus, Ru. Maksa aku dan pak Edy harus serius gunain otak buat mahaminya,” ucapku, menyela.


Heru tertawa. Sambil menatap aku dan pak Edy, Heru menyampaikan, saat di penjara inilah kesempatan emas untuk meningkatkan kemampuan sekaligus mendalami agama dengan baik.


“Ah, kamu ini sok bener, Ru. Solat aja masih compang-camping gitu,” tanggap pak Edy.


“Itu sudah bagus, pak. Dulu malah nggak pernah solat sama sekali. Aku sampein cerita Myke Tyson soal dia masuk Islam ya. Kata dia, kalau mereka ngajari Islam sama aku sebelum aku di dalam penjara, mustahil bisa buatku jadi taat. Karena hidupku sangat bebal dan penuh kesenangan,” kata Heru.


“Terus apalagi kata Myke Tyson?” tanya pak Edy, penasaran.


“Dia bilang lagi, saat aku di dalam penjara, egoku hilang dan jiwaku mulai bersih. Dan aku mulai merasa kesepian. Tapi, Islam telah bebasin aku dari semua itu, dan aku tetep merasa makmur kayak dulu sebelum masuk Islam. Makanya, aku lebih memilih masuk penjara,” Heru melanjutkan.


“Masih ada lagi nggak apa cerita Myke Tyson?” pak Edy bertanya lagi.


“Masih, pak. Kata dia, jadi muslim bukan berarti aku jadi malaikat, tapi aku akan jadi orang yang lebih baik. Karena ingin menjauhi delusi. Dan kalau aku berbuat dosa, bukan berarti karena Islam itu tidak sempurna, namun karena aku lemah. Dan Islam datang buat nyempurnainku dari kecacatan. Gitu Myke Tyson ngakuinnya, pak Edy. Ini omongan juara tinju dunia yang terkenal,” kata Heru, panjang lebar.


“Kamu ngarang aja kali ini, Ru? Darimana kamu tahu omongan Myke Tyson kayak gitu,” pak Edy, memprotes.


“Waduh, pak Edy ini bener-bener kuper ternyata ya. Aku buka di google, pak. Hp-ku kan non-stop. Kalau nggak percaya, nanti aku bukain cerita itu, dan pak Edy baca sendiri,” jawab Heru, seraya tersenyum.


“Sudah dulu ngobrolnya. Ayo balik ke kamar. Sebentar lagi sudah dhuhur,” kataku, memotong.


Dan tanpa menunggu persetujuan pak Edy serta Heru, aku berdiri dan melangkah masuk ke Blok B. Menuju kamarku. Kamar 20. Sambil berjalan, terngiang perkataan seorang teman: jangan hanya sibuk menghakimi kegelapan, nyalakan saja lenteranya. (bersambung)

Berita Pilihan

berita POPULER+

TerPopuler