Balada Seorang Narapidana (Bagian 196) -->

Balada Seorang Narapidana (Bagian 196)

Jumat, 15 Juli 2022, Jumat, Juli 15, 2022


Oleh, Dalem Tehang


KALAU menurut pak Anas, rejeki yang baik itu seperti apa?” tanyaku.


“Jangan nurut aku ya, be. Kalau bicara soal rejeki yang baik, aku pernah baca kalimat seorang filosof masyhur. Dia bilang begini: sebaik-baik rejeki itu yang tidak buat hatimu meninggi, yang tidak buatmu kagum sama diri sendiri, yang tidak buatmu lalai dari ibadah dan penyucian diri, dan tidak mengalihkan kesadaranmu dari tujuan hakiki. Itu yang aku pahami selama ini, be,” sahut pak Anas dengan wajah serius.


Ku angguk-anggukkan kepalaku. Kagum dengan kedalaman pengetahuan pak Anas. Pria low profile ini seakan “buku kehidupan” yang telah diatur Tuhan untuk tempatku belajar selama menjalani penahanan.


“Aku duduk disini dulu ya, pak. Kalau pak Anas mau ke kamar, silahkan,” kataku, beberapa saat kemudian.


Aku berhenti di depan pintu masuk Blok B. Duduk di kursi taman yang ada disana. Sambil melihat para tahanan yang lalulalang dengan aktivitasnya masing-masing. 


“Siap, be. Aku ke kamar aja. Mau dhuha-an dulu di kamar,” sahut pak Anas, dan melanjutkan langkahnya, menuju kamar 8 penaling.


Beberapa kali aku tersenyum melihat tingkah polah tahanan saat bercanda dengan sesamanya. Keceriaan tetap mereka miliki walau hidup dalam keterbatasan pergerakan raga. Pertanda penerimaan atas kenyataan sudah masuk dalam relung hati mereka yang terdalam.


Tiba-tiba ada yang menepuk bahuku. Ternyata Heru dan pak Edy telah berdiri di belakang tempatku duduk.


“Ngelamun atau lagi merhatiin apa sih, bang. Sampai-sampai nggak tahu kalau kami dari tadi berdiri disini,” kata Heru, sambil menaruhkan pantatnya di kursi taman sebelahku.


“Lagi asyik ngelihat tingkah mereka yang main kejar-kejaran sambil ngelempar sandal itu lo, Ru. Jadi inget waktu masih kecil dulu,” sahutku, tersenyum. 


“Emang disini mah banyak laku yang aneh-aneh, be. Kadang yang muda-muda sudah bergaya tua, yang tua malah main kayak anak-anak,” ujar pak Edy, yang juga duduk di kursi sebelahku.


“Dari tadi abang duduk disini sendirian ya? Dan nggak makan atau minum apa-apa?” tanya Heru.


“Tadi sudah ke kantin. Sama pak Anas. Dia balik ke kamar, aku nyantai disini dulu. Nikmati tingkah polah orang-orang aja. Nyari hiburan,” kataku, tetap dengan tersenyum.


“Aku ke kantin dulu ya. Beli minuman sama gorengan. Abang sama pak Edy tunggu aja disini,” ujar Heru, tiba-tiba.


“Eh, nanti dulu, Ru. Aku mau tanya, duit yang kamu pakai buat beli minuman sama gorengan itu halal apa nggak?” pak Edy menyela.


“Ya halal-lah, pak. Tenang aja,” tanggap Heru dengan cepat.


“Duit itu dari hasil kamu tipu-tipu ngaku aparat itu kan? Kalau iya, berarti haram itu,” sambung pak Edy dengan wajah serius.


“Jujur ya, pak Edy. Emang duit di kantong ini dari hasil kerja tipu-tipu itu. Tapi kan sudah berproses. Dikirim lewat transfer bank. Yang ambil di ATM bukan aku. Sudah berbagi juga sama yang ngambilin. Nah, ini bagianku. Jadi ya sudah halal-lah. Sudah lewat banyak pembersihan,” kata Heru mengurai, sambil tertawa ngakak. Dan meneruskan langkahnya untuk ke kantin.


Mendengar perkataan Heru, pak Edy hanya menggeleng-gelengkan kepalanya seraya tersenyum. 


“Kalau nurut Babe kayak mana ini? Halal apa haram?” kembali pak Edy bertanya. Tampak ia masih merasakan keraguan.


“Bismillah ajalah, pak Edy. Kita kan dikasih, berarti rejeki. Heru yang ngasih minuman dan makanan buat kita, ya dapet pahala. Soal cara dapetin duitnya lewat pola nggak bener, biar Heru nanggung dosanya,” sahutku dengan enteng.


“Wuih, enteng bener Babe ngenilainya,” kata pak Edy dengan cepat.


“Dibuat enteng aja sih, pak. Tuhan kan maha tahu. Lagian, kalau bukan rejeki kita, bisa-bisa Heru balik dari kantin malah nggak bawa apa-apa,” kataku, dengan tersenyum.


Beberapa saat kemudian, Heru telah kembali. Ditangannya terdapat dua kantong plastik. Satu berisi minuman segar dalam botol, satu lainnya dipenuhi makanan gorengan.


“Alhamdulillah, berarti halal ini, pak Edy. Buktinya Heru dapet yang dia mau beli. Rejeki kita ini,” kataku, sambil membuka tutup minuman segar yang dibelikan Heru.


Pak Edy hanya tersenyum, dan kemudian membuka minumannya serta menikmati panganan kecil; tempe dan bakwan. 


Di sela-sela kami menikmati panganan kecil, Heru mengangkat tangannya, menunjuk ke arah dua pria yang sedang berjalan dari pos penjagaan luar menuju pos penjagaan dalam sambil membawa dua kantong berisi penuh, seusai menerima besukan.


“Kenapa, Ru?” tanyaku.


“Itu tanda kalau mereka orang pelit, bang,” jawabnya, pendek.


“Maksudnya?” tanyaku lagi.


“Bawaan keluarganya, mereka tenteng sendiri. Kan ada tamping yang siap ngebantu. Tapi karena pelit, nggak mau mereka berbagi rejeki sama tamping. Tahan bawa sendiri,” jelas Heru, sambil terus menatap dua laki-laki yang sedang berjalan dengan santai dan penuh keceriaan menuju pos penjagaan dalam.


“Kali mereka nggak ada uang, Heru. Keluarganya cuma kasih makanan aja. Jangan cepet-cepet ngenilai oranglah,” ucap pak Edy, menyela.


“Mereka memang orang pelit kok, pak Edy. Kalaupun keluarganya nggak kasih uang, kan bisa ngasih makanan sama tamping yang bawain barangnya ke kamar. Ini aku nggak nge-ghibah ya, cuma nyampein pendapat aja,” jawab Heru. Lugas.


“Kamu itu sudah nge-ghibah, Ru. Dan kamu perlu tahu, orang yang paling banyak kesalahannya, ya orang yang paling banyak nyebutin kesalahan orang lain. Kayak kamu ini,” kata pak Edy, dengan nada serius.


“Gitu ya, pak Edy. Ampun sama Tuhan kalau aku salah. Tapi yang aku sampein ini berdasar kebiasaan lo. Aku kan sudah lama disini, jadi paham bener karakter orang-orang,” sahut Heru.


“Misalnya kayak mana, Ru?” tanyaku kemudian.


“Sederhana aja, bang. Yang habis besukan terus bawa sendiri kiriman keluarganya, berarti dia pelit. Tapi yang jalan ngelenggang setelah besukan dan bawaannya disuruh tamping anter duluan ke kamarnya, berarti orang itu gaulnya bagus dan nggak pelit,” jelas Heru.


“Kan nggak ada kewajiban buat dibawain tamping sih kiriman kita,” kata pak Edy.


“Ya emang nggak wajib sih, pak. Cuma kan kita perlu berbagi rejeki juga, walau itu kiriman dari rumah sendiri. Yakin aja, nanti pasti ada kiriman mereka yang nenteng sendiri, kena pangkas sama sipir di pos penjagaan dalem,” tanggap Heru.


“O gitu, Ru. Kenapa bisa gitu?” tanyaku lagi. Penasaran. (bersambung)

Berita Pilihan

berita POPULER+

TerPopuler