Balada Seorang Narapidana (Bagian 195) -->

Balada Seorang Narapidana (Bagian 195)

Kamis, 14 Juli 2022, Kamis, Juli 14, 2022


Oleh, Dalem Tehang 


TERIMAKASIH, Abah. Saya sepakat kita saling menghormati dan jangan saling ganggu. Saya minta, sebelum kawan-kawan minta sesuatu kepada sesama tahanan, tolong tanya dulu, kenal nggak sama saya. Kalau kenal, berarti dia kawan saya. Dan karena kita sudah berkawan, berarti ya kawannya Abah juga,” kataku, beberapa saat kemudian.


Pria berbadan besar dengan langkah pincang yang dipanggil Abah itu, tersenyum. Dan kemudian, ia mengacungkan jempol tangannya ke arahku. 


“Kamu memang cerdik, Mario. Belum apa-apa, sudah ngajak bargaining sama aku. Tapi ya sudah, karena aku sudah nyebut kamu sebagai kawan, nggak bakal aku jilat lagi ludah yang sudah keluar. Semua anak buahku mulai sekarang bakal jagain kamu dan kawan-kawanmu,” ujar Abah, seraya menepuk-nepuk bahuku dengan penuh keakraban.


Setelah itu, Abah diikuti Danil dan beberapa anak buahnya kembali ke tempat duduk semula. Aku dan pak Anas serta pak Hadi melanjutkan obrolan.


“Kita geser aja duluan, pak,” kata pak Hadi, beberapa saat kemudian.


“Biar mereka dulu yang keluar kantin, pak. Kita tunjukin kalau nggak ngaruh, apa yang mereka lakuin tadi,” sahutku.


“Maksudnya, pak?” tanya pak Hadi. Mengernyitkan dahi.


“Ya, tadi kan mereka mulainya dengan ngancam. Terus ngajak berteman. Jadi, ya kita tanggepi biasa-biasa aja. Kalau kita masih pengen makan, ya makan-makan aja. Masih pengen ngobrol, ya ngobrol-ngobrol aja. Santai ajalah, pak,” ujarku seraya tersenyum.


Untuk menenangkan hati pak Hadi, aku minta kepada pegawai kantin agar dibuatkan tiga cangkir teh hangat. Satu pahit, dua manis. Juga pisang goreng, bakwan, dan tempe. Kami bertiga pun kembali “ngemil”. 


Ditengah-tengah kami masih melanjutkan menikmati makanan kecil dengan terus berbincang ringan, Abah dan kelompoknya meninggalkan kantin. Abah dan Danil mengangkat tangannya ke arahku. Berpamitan. Aku sambut dengan mengangkat tangan juga. Saling menghormati.


Begitu Abah dan kelompoknya meninggalkan kantin, beberapa tahanan yang ada di kantin, langsung mendekati meja kami. Mereka mengenalkan diri masing-masing. Dan meminta perkawanan dengan kami. Dan setelahnya, mereka kembali ke mejanya. Melanjutkan aktivitas masing-masing. 


Saat mata mengitari seluruh ruangan kantin, aku melihat seorang pria muda usia yang sejak tadi hanya duduk di kursinya sambil terus menyantap makanan. Tampak tidak terusik sama sekali dengan apa yang terjadi beberapa saat sebelumnya. Sesekali ia memperhatikanku dan pak Anas serta pak Hadi. 


Aku memberi isyarat kepada pak Anas dan pak Hadi untuk melihat pria muda itu. Berusia sekitar 25 tahunan. Wajahnya bersih. Badannya berkulit kuning. Meski memakai topi, aku melihatnya beberapa kali ia mencuri pandang ke arah kami bertiga duduk.


“Kayaknya anak itu lagi tertekan bener, be,” ucap pak Anas, setelah mengamati beberapa saat.


“Apa kita panggil aja, pak. Biar duduk bareng kita,” kata pak Hadi, memberi saran.


“Nggak usah, pak. Nambah-nambah urusan aja. Lagian, belum tentu juga dia mau. Lain kalau dia yang mau kesini,” tanggapku kepada pak Hadi.


“O iya, pak Mario. Saya mau tanya, yang disebut Peeng itu siapa? Kok sepertinya Abah dengan kelompoknya takut bener,” kata pak Hadi, beberapa saat kemudian.


Aku pun menceritakan siapa Peeng. Ia sahabatku sejak muda. Pernah sama-sama aktif di koperasi tempatku bekerja. Tetap berkawan dekat, walau berbeda divisi.


Hingga suatu saat, Peeng tersangkut sebuah kasus. Ia ditahan dan harus menjalani hukuman. Selama ia di penjara, aku yang menjamin ke perusahaan untuk dia tidak diberhentikan. Sesuai permintaannya.


“Dengan dia tetep tercatat sebagai karyawan, tentu berhak menerima gaji. Dan itulah yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan istri dan anak-anaknya selama Peeng menjalani hukumannya. Sampai dia bebas. Walau akhirnya dia pindah tempat bekerja, hubungan kami tetap baik,” lanjutku, mengurai siapa Peeng.


“Sederhana aja ya ceritanya, tapi kenapa Abah dan kawan-kawannya segen gitu sama Peeng, pak,” kata pak Hadi lagi.


“Peeng juga aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan, pak. Banyak orang yang dibinanya, dibantunya, dicarikan pekerjaan, dan sebagainya. Jiwa sosialnya sangat tinggi. Dia nggak tega ngelihat kawannya susah, apalagi sakit. Apa yang bisa dia perbuat, pasti dia lakuin. Nggak peduli orang itu orang baik atau orang jahat. Bagi dia, semua manusia itu sama. Nggak ada urusan sama perbuatannya. Dan saya mengalami langsung bagaimana dia mendadak muncul di saat yang genting,” kataku, panjang lebar.


“Yang Babe alami gimana?” tanya pak Anas, mulai tertarik juga.


“Waktu itu saya masih di sel AO. Dateng seorang pria, si Gerry. Dia ngebond saya dan mengajak ke kamarnya. Gerry itu anak buah Peeng juga. Langsung dia telepon Peeng dan saya bicara sama dia. Danil yang tadi itu, iparnya Peeng. Dia masuk sini karena nganiaya istrinya. Dia tahu kakak iparnya baik dan segen sama saya, maka dia nggak berani macem-macem,” sambungku, seraya tersenyum.


“Alhamdulillah, tetep ada aja bantuan di saat sulit ya, pak,” tanggap pak Anas.


“Bener itu, pak. Kalau saya yakin bener, dibalik sejuta kejahatan kita, pasti kita pernah sekali dua kali berbuat baik. Nah, pada saat terdesak, kebaikan itu muncul berupa datangnya bantuan dari sesama. Makanya, saya enteng-enteng aja ngadepin kondisi apapun,” kataku lagi.


“Hebat bener pengaruh Peeng itu ya, pak. Bersyukur bisa kenal dia,” ucap pak Hadi.


“Alhamdulillah, pak. Kehebatan itu memang orang lain yang menilai, bukan diri kita sendiri. Dan Peeng selama ini ya biasa-biasa aja. Nggak sombong apalagi sok-sok-an karena punya banyak jaringan. Kerendahan hatinya itu yang luar biasa,” tuturku lanjut.


Pak Anas memberi isyarat untuk kami kembali ke kamar. Setelah bersalaman dengan pak Hadi, aku dan pak Anas berjalan menuju Blok B. Tempat kami mendapat kamar penahanan.


Sambil berjalan di selasar, aku melihat puluhan orang yang akan mengikuti persidangannya. Memakai kemeja putih, bercelana warna gelap, dan berkopiah. Mereka duduk menunggu waktu pemberangkatan ke pengadilan, dengan berkumpul di sekitar pos penjagaan dalam.


Sementara beberapa tamping hilir mudik membawa kantong plastik berisi makanan. Kepunyaan tahanan yang tengah menerima besukan anggota keluarganya. 


Mereka mengantarkan bawaan pembesuk sampai ke kamar tahanan masing-masing. Dan ada uang pengantar antara Rp 5 sampai Rp 10 ribu untuk mereka sekali menjalankan tugasnya.


“Begitu hebatnya kehidupan ini ya, pak. Meski di penjara dan menjadi tamping, tetep aja ada rejeki buat mereka,” ucapku kepada pak Anas.


“Itulah konsistennya Tuhan dengan janjinya, be. Semua yang bernyawa terus diberinya rejeki, dimanapun dan dalam kondisi apapun mereka. Persoalannya, kita terlalu banyak meminta nikmat yang lain. Padahal, nikmat yang ada aja belum kita syukuri,” tanggap pak Anas, dan ada senyum tipis penuh makna satir dibaliknya. (bersambung)

Berita Pilihan

berita POPULER+

TerPopuler