Oleh, Dalem Tehang
“SORRY, Dika. Aku bercanda aja,” kataku buru-buru, seraya memeluk badannya.
Anak muda berusia sekitar 27 tahunan itu tampak memaksakan diri untuk tersenyum. Mencoba menunjukkan, bila hati dan pikirannya tidak terusik oleh perkataanku yang bernada candaan.
“Kalau hatimu yakin bekas tunanganmu dateng, inshaallah dia dateng, Dika. Kamu tanya aja sama hatimu, yakin apa nggak,” kata pak Anas, memecah keheningan.
“Kalau aku, yakin, pak. Cuma tadi agak goyah gara-gara omongan bercanda bang Mario,” jawab Dika, seraya menatap pak Anas yang berdiri di balik jeruji besi kamarnya.
“Nah, mantepin lagi keyakinanmu. Memang, kalau kita ada rencana bagus dan nyenengin hati, pasti ada aja gangguannya. Disitulah kita diuji, seberapa kuat keyakinan kita. Kalau kita kuat dan nggak goyah sama gangguan, inshaallah apa yang kita yakini bakal terwujud. Tentu sambil diiringi doa juga, Dika,” lanjut pak Anas. Kali ini ada senyum lepas dari bibirnya.
“Siap. Aku yakin kok, pak. Aku pegang bener pesen ibu: kokohlah diatas keyakinan, walaupun kamu hanya sendirian,” ucap Dika, dengan nada tegas.
Kami semua tersenyum mendengar pernyataan Dika. Anak muda yang ditinggal kedua orangtuanya kembali ke pangkuan Ilahi di saat masih kecil. Dan menjadi kuat serta trengginas menjalani kehidupan berkat didikan penuh kasih sayang paklek dan buleknya.
Serta sebagai balas budi atas pengasuhan paklek buleknya sejak kecil, ia memasang badan untuk anak semata wayang mereka yang sesungguhnya sebagai pemakai narkoba jenis ganja.
Dengan ikhlas, ia mengaku sebagai pemakai ganja, demi menyelamatkan adik sepupunya. Anak paklek bulek yang mengurus Dika sejak kecil hingga menyelesaikan pendidikan sarjana dan telah bekerja. Sebuah perilaku balas budi yang amat jarang ditempuh oleh semua anak manusia.
Dan benar saja. Di saat kami masih berbincang di depan kamar 8, seorang tamping regis mendatangi Aris dan Dika. Memberitahu keduanya mendapat basukan.
“Alhamdulillah. Akhirnya keyakinanku terwujud,” kata Dika dengan setengah berteriak, dan menyalamiku dan pak Anas.
Melihat Aris dan Dika berjalan menyusuri selasar untuk kemudian keluar Blok B dengan penuh keceriaan, aku dan pak Anas bernafas lega. Dan tersenyum.
Tidak salah bila selama ini semua penghuni rutan meyakini, mendapat besukan bak merayakan hari lebaran. Penuh sukacita berbalut kebahagiaan.
Aku mengajak pak Anas ke kantin. Menikmati mie bakso. Ia juga ingin merasakan segarnya teh botol dari kulkas. Senang sekali hatiku saat bisa memberi seberkas kebahagiaan kepada pria low profile ini.
“Alangkah lamanya nggak ngerasain mie bakso sama teh botol dingin gini, be. Alhamdulillah bener hari ini bisa ngerasainnya lagi,” ucap pak Anas dengan pelan, seraya menatapku.
“Kita terus bersyukur aja, pak. Seperti yang sering pak Anas bilang, Allah selalu kasih kita rejeki setiap harinya. Nah, hari ini, diantara rejeki itu ya makan di kantin ini,” sahutku, seraya tersenyum.
Saat kami masih menikmati makanan ringan sambil berbincang, aku melihat pak Hadi masuk ke kantin. Setelah memesan makanan, ia menengok ke kanan kiri. Mencari tempat untuk duduk.
Aku berdiri dari kursiku, dan memanggilnya. Dengan tersenyum, pak Hadi pun berjalan ke tempatku bersama pak Anas yang sedang makan. Setelah menaruh piring berisi siomay yang dibawanya, pak Hadi menyalamiku dan pak Anas sambil menundukkan sedikit badannya. Santun sekali pembawaan pria yang pernah sukses mengelola bisnis kopi ini.
Belum sempat pak Hadi memulai makan siomay, tiba-tiba dari bagian ujung kiri kantin terdengar keributan. Teriakan beberapa orang dan pecahnya piring serta gelas, membuat suasana yang semula nyaman, menjadi gaduh.
Spontan aku berdiri. Ingin melihat lebih jelas peristiwanya. Namun pak Hadi memegang tanganku. Memintaku untuk duduk kembali.
“Biarin aja, pak. Mereka memang kelompok yang suka bikin ribut. Kita nggak usah ngerespon. Nanti malah mereka ngarah kesini,” ujar pak Hadi, dengan suara tenangnya.
Kami bertiga kembali fokus pada meja makan. Aku dan pak Anas menyendok lagi mie bakso yang masih ada di mangkoknya, sedang pak Hadi memulai makan siomay kesukaannya.
Baru beberapa kali menyuap makanan ke mulut, seorang pria berbadan besar dengan tato di lengan kanan kirinya, berdiri di samping meja kami.
“Coba dulu traktir kami makan kayak gini. Cuma enam mangkok bakso aja. Nggak lebih,” kata pria itu, dengan suara garang.
Mataku menatap pak Hadi, yang duduk di depanku. Pria kalem ini hanya diam. Tidak memberi isyarat apapun. Aku menengok pak Anas yang duduk di sebelahku. Ia malah meneruskan makannya. Menggigit-gigit bakso yang memang agak keras.
“Kok pada diem? Mau aku siramin ke muka kalian ini makanan?” kata pria itu lagi dengan nada kasar.
Perlahan, aku berdiri. Ku tatap pria berbadan besar itu. Ia langsung bertolak pinggang. Menunjukkan badan besarnya yang memang kencang. Berotot.
“Maaf, kami nggak punya uang. Jadi nggak bisa traktir kalian,” kataku, dengan tenang.
Mendengar jawabanku, pria itu menengok ke sudut kantin. Tempat duduk kelompoknya. Ku arahkan pandanganku ke posisi mereka. Yang berkumpul di dalam satu meja panjang.
Tiba-tiba mataku mengenali salah satunya. Danil. Yang dulu pernah akan mengerjaiku saat aku baru masuk sel AO. Dia juga melihatku.
Sesaat kemudian aku melihat dia berbisik kepada seorang pria berusia sekitar 60 tahunan yang ada di sebelahnya. Pria berambut putih itu, memiliki badan besar dan asyik merokok dengan pipa gading ditangannya. Matanya tajam. Wajahnya menunjukkan keberingasan.
Danil dan pria itu tiba-tiba berdiri. Berjalan ke arah mejaku bersama pak Anas dan pak Hadi. Aku perhatikan langkah pria tersebut. Ternyata pincang. Kaki kirinya tampak setengah diseret saat ia berjalan.
Aku hanya berdiri. Memandangi Danil dan kawannya mendekati meja kami. Pak Anas dan pak Hadi tetap duduk. Tenang. “O, ini yang namanya Mario ya. Sudah lama aku pengen kenal. Setelah denger cerita dari Danil. Kawan-kawan disini memanggilku dengan sebutan Abah,” kata pria itu, begitu berdiri di dekat meja kami.
Spontan aku mengulurkan tangan. Menyalaminya. Juga Danil, dan pria bertato yang sejak awal menghampiri meja kami. Seraya menyebut namaku; Mario.
“Kita ini kawan. Kami semua anak buah Peeng. Untung tadi Danil cepet cerita siapa kamu. Kalau sampai kejadian nggak baik, kan malu. Kata Danil, Peeng hormat sama kamu. Jadi kita saling menghormati. Jangan saling ganggu. Setujukan,” kata pria yang dipanggil Abah itu.
Aku menganggukkan kepala. Abah mendekat. Dan memelukku. Tiba-tiba, suasana kantin riuh dengan tepuk tangan. Merespon pelukan Abah tersebut. Satu demi satu anak buah Abah menyalamiku. Juga kepada pak Anas dan pak Hadi. (bersambung)