Oleh, Dalem Tehang
RUDY berdiri di depan pintu kamar. Aku paham. Kopi dan mie rebus sudah siap dinikmati. Aku pun berpamitan kepada bos besar di kamar 25. Untuk sarapan.
“Asyik bener kayaknya ngobrol sama bos tadi, om,” ucap Rudy, sambil melihatku mulai memakan mie rebus buatannya.
“Ngobrol sana-sini aja, Rud. Namanya juga beranjangsana. Yang penting silaturahmi, bukan soal obrolannya,” jawabku.
“Jadi yang penting itu silaturahminya ya, om. Bukan apa yang diobrolin,” tanggap Rudy.
“Iya gitu, Rud. Kalau niatnya silaturahmi, kita dapet pahala. Tapi kalau silaturahminya malah ngomongin orang, kita dapet dosa. Maka, jaga betul silaturahmi itu hanya dengan saling tanya kesehatan masing-masing, atau ngobrol yang baik-baik aja,” tuturku, mengurai.
Sarapan mie rebus membuat perut terasa hangat dan setelahnya aku menuju ke lapangan. Untuk berjalan mengelilinginya. Sambil terus menggerakkan tangan, ku putari lapangan yang ada di dalam kompleks rutan itu sebanyak 15 kali. Keringat bercucuran. Menjaga kesegaran badan adalah hal utama yang sangat aku perhatikan.
“Seger bener kalau sudah jalan gini ya, bang,” kata Dika, yang tiba-tiba muncul dan berjalan di belakangku.
“Oh, kamu, Dika. Aku sudah mau selesai. Lanjut aja kamu,” sahutku, seraya menepi dari lapangan. Duduk di tepian selasar. Ngangin.
Tampak Dika berjalan mengelilingi lapangan dengan penuh semangat. Menjaga fisik tetap prima memang sangat penting. Karena sekali terkena virus di dalam rutan ini, cukup lama untuk bisa kembali fit.
Setelah ngangin beberapa saat, aku menuju kantin. Membeli dua botol air mineral. Beberapa tahanan yang sedang sarapan di kantin sempat menyapaku. Berbincang sebentar. Berbasa-basi.
Aku kembali duduk di tepian selasar. Dika yang melihatku kembali ke tempat semula, langsung mendekat. Menyudahi kegiatan olahraganya.
“Kok cepet bener kamu selesainya, Dika,” sapaku, sambil memberi satu botol air mineral untuk dia.
“Cukuplah, bang. Sudah 10 kali putaran. Badan juga sudah kerasa segeran,” sahut pria yang tersangkut kasus narkoba ini.
“Masak cuma 10 kali putaran. Aku aja sampai 15 kali lo, Dika,” kataku.
“Karena abang sudah tua, lama panasnya. Jadi wajar, kalau lebih banyak putarannya. Dika kan masih muda, jadi cepet kerasa panas di badan,” tanggap Dika seraya tertawa.
Mendengar tanggapan Dika yang demikian, aku pun tertawa. Rentengan usia pada manusia, memang akan banyak berpengaruh pada kondisi tubuh. Karenanya, aku paksakan diri untuk secara rutin menjaga kebugaran. Agar tidak mudah terserang virus dan berbagai penyakit yang ada di kompleks rutan.
Tampak seorang pria degan postur badan tinggi besar dengan kulit putih, berjalan mendekati tempatku dan Dika sedang ngangin selepas berolahraga. Ternyata Yan Wijaya.
“Assalamualaikum, bang Mario,” sapa dia.
“Waalaikum salam. Kamu sudah masuk kamar penaling ya, Yan. Kamar berapa,” kataku, menyahut.
“Alhamdulillah sudah, bang. Tadi malam, jam 22.00-anlah. Masuk kamar 12, bang. Sekamar sama Dika ini,” kata Yan, sambil menepuk bahu Dika yang duduk di sebelahku.
“Oh ya. Alhamdulillah kalau gitu. Dika dan pak Aris itu kawanku, Yan. Saling jaga aja kalian di kamar,” ucapku lanjut.
“Siap, bang. Sebenernya sudah dari tadi saya perhatiin bang Mario sama Dika. Saya lihat, kok akrab. Maka saya kesini. Numpang dititipin ke Dika dan kawan-kawan maksudnya, bang,” kata Yan dengan tersenyum.
“Badan segede gitu kok minta dititipin sih, Yan. Aneh-aneh aja kamu ini,” sahutku, menyela.
Yan dan Dika tertawa. Pun aku. Suasana kembali penuh keceriaan. Meski saat mata memandang jauh ke depan, tembok tinggi mengelilingi tempat kami berada. Sebuah keniscayaan akan adanya keterbatasan pergerakan raga.
“Ngomong-ngomong, sebenernya kita pernah kenal dimana ya, Yan. Sudah aku coba inget-inget, nggak kebayang juga,” kataku, beberapa saat kemudian.
Pria bernama Yan Wijaya yang mengaku tersangkut skandal penyuapan alias gratifikasi itu, tersenyum. Matanya tajam menatap wajahku. Seakan ada yang tengah dicarinya.
“Emang sudah kenal lama sama bang Mario ya, bang Yan,” ujar Dika, menyela.
“Maaf ini ya, bang Mario. Jangan marah ya. Saya mau buka apa adanya. Tapi janji, abang nggak marah sama saya ya,” kata Yan, kemudian. Dengan tetap memandang wajahku.
“Sampein aja yang mau kamu buka itu, Yan. Nggaklah, ngapain marah. Emang kelihatan dijidat, kalau aku ini pemarah,” sahutku, dengan gaya santai.
“Jadi gini, bang. Sebenernya, saya memang belum kenal sama abang. Dan abang juga nggak kenal saya. Saya tahu abang ada disini dari baca koran,” tutur Yan Wijaya. Suaranya parau.
“Maksudnya gimana, bang Yan?” tanya Dika, tampak penasaran.
“Saya jalani penahana pertama di polda. Setiap hari, semua kamar tahanan dikasih koran, buat bacaan. Nah, sehari mau pelimpahan perkara, saya baca di sebuah koran ada berita soal kasus bang Mario. Juga ada fotonya,” urai Yan Wijaya.
“Apa yang buat bang Yan tertarik baca berita bang Mario?” tanya Dika, lanjut.
“Nggak tahu kenapa, saya justru tertarik buat ngenalin wajah bang Mario. Sampai saya inget-inget dengan serius, gimana bentuk wajahnya. Jadi, bukan soal berita kasusnya, Dika. Apalagi, kasus 378 dan 372 itu kan umum,” jelas Yan.
“Terus kok bisa ngenalin diri sama bang Mario, gimana ceritanya?” tanya Dika, semakin penasaran.
“Sampai pas masuk sini, di pos penjagaan dalam, saya lihat bang Mario lagi duduk di pos. Ngobrol sama sipir-sipir. Saya ngenalin bener, ini bang Mario yang saya lihat fotonya di koran itu. Langsung aja ngenalin diri. Dan Alhamdulillah, berkat sok kenal sok deket itu, bang Mario mau nitipin saya,” Yan Wijaya mengurai kisah pengenalannya kepadaku.
Aku langsung tertawa. Pun Dika. Bahkan hingga ngakak. Yan yang sebelumnya mengernyitkan dahi melihat tanggapan kami atas perkataannya, kemudian ikut tertawa juga.
“Maaf ya bang, kalau cara saya cari payung masuk rutan ini, nggak pas buat abang,” ucap Yan, beberapa saat kemudian, sambil memegang tanganku.
“Santai aja, Yan. Justru aku bersyukur bisa bantu kamu. Emang kadangkala, kita punya makna buat seseorang itu, tanpa rencana dan persangkaan. Ngalir begitu aja. Sepanjang buat kebaikan, ya disyukuri. Tuhan sudah ngaturnya kayak gitu,” sahutku, tetap dengan santai.
“Tapi nekat juga ya bang Yan ini. Gimana kalau waktu itu bang Mario bilang nggak kenal? Kan malah jadi pertanyaan sipir yang ngurus pelimpahan,” kata Dika, sambil menatap Yan.
“Kalau dipikir-pikir sekarang, emang nekat yang saya lakuin waktu itu, Dika. Tapi saat itu, saya pede ngenalin diri sama bang Mario. Dan dia juga enteng aja ngakui kenal saya waktu ditanya sipir. Bahkan dikasih kesempatan sama sipir buat nganter saya ke AO dan nitipin ke petugas jaga disana. Ya, bener kata bang Mario tadi, Tuhan sudah ngaturnya kayak gitu,” sahut Yan Wijaya, seraya tersenyum.
“Aku salut sama kenekatan bang Yan. Tapi ke depannya, jangan sering-sering pakai trik sok kenal sok deket itu, bang. Takutnya kena apes,” lanjut Dika, sambil tertawa.
“Sekarang coba kamu kasih kata penyemangat buat Yan ini, Dika. Biar dia pede sama dirinya sendiri. Nggak ngegantungin kepedeannya dengan cari payung dari orang lain,” ujarku dengan serius.
Dika mengernyitkan dahinya. Ia tahu, aku tengah mengetesnya untuk memotivasi Yan Wijaya, si tahanan baru.
Dika juga tahu persis, bagiku yang utama adalah ketegaran mental dalam menjalani kehidupan dengan kondisi apapun. Karena hal itu akan melahirkan ketenangan. Dan ketenangan mewujud dalam kebahagiaan. Yang memercik pada pembawaan keseharian.
“Waktu pertama kali aku masuk sel, paklekku kasih kata penyemangat begini, bang Yan. Saat beban kehidupan menekanmu ke bawah, nikmatilah. Jangan dilawan. Biarkan kamu ditekan terus. Jika perlu, sampai rata dengan tanah. Kenapa? Agar ada energi balik yang melontarkanmu melenting lebih tinggi,” urai Dika, dengan suara tegas.
Yan Wijaya dan aku menganggukkan kepala. Mencoba memahami begitu dahsyatnya rangkaian kata penyemangat yang disampaikan Dika, mengutip dari pesan pakleknya.
“Terimakasih sarannya yang bergelora itu, Dika. Inshaallah, saya punya mental kuat buat jalani kehidupan disini,” tanggap Yan, dan kemudian menyalami Dika dengan hangat.
Sesaat kemudian, aku mengajak Dika dan Yan kembali ke blok. Untuk melanjutkan kegiatan masing-masing. Sambil berjalan menuju kamar, perkataan penuh semangat yang disampaikan Dika kembali terngiang.
Dan aku mendapatkan sepercik keyakinan, bila Allah menguji seseorang di titik terlemah, karena Ia hendak menjadikannya kuat di titik tersebut. (bersambung)