Oleh, Dalem Tehang
KEASYIKANKU menggali informasi dari Udin menjadi terpotong ketika Rudy datang. Ia memberitahu, ada yang mencariku.
“Siapa, Rud? Kok nggak ngelihat kalau aku disini,” kataku, yang saat itu berdiri di pos pintu depan Blok B. Memang dengan posisi membelakangi tempat lalulalang tahanan.
“Nggak lihat kali kalau om ada disini. Dia nunggu di tempat kongkow depan taman,” ucap Rudy.
Setelah berpamitan dengan Udin, aku melangkah masuk ke kawasan kamar tahanan. Di kursi taman depan kamarku, tampak duduk seorang pria berbadan tinggi besar dengan kulit putih bersih.
Mendengar ada langkah kaki yang mendekat, pria itu menengokkan wajahnya. Ternyata Yan Wijaya. Tahanan baru yang pernah aku bantu saat baru masuk rutan dan menjalani proses penahanan di sel AO, beberapa hari lalu.
“Kamu, Yan. Apa kabarmu,” sapaku sambil menyalaminya.
“Alhamdulillah sehat, bang. Mau lapor ini, bang. Rencananya, nanti malem saya keluar sel AO. Mau minta petunjuk abang, baiknya masuk kamar penaling yang mana ya,” ujar Yan, dengan wajah serius.
“Syukur kalau kamu sudah mau keluar AO, Yan. Prinsipnya, semua kamar penaling sih bagus. Baiknya nggak usah milih, nanti juga terkondisi dengan sendirinya,” sahutku.
“Jujur, bang. Stres saya di AO. Bukan cuma isinya tiga kali lipat dengan aturannya, jadi sesak bener. Tidur aja nggak bisa lurusin kaki. Tapi banyak bener yang sok ngejago. Saya takut, kalau lama-lama disana, bisa kelahi. Makanya, minta istri buat ngurusnya. Yang penting cepet keluar AO,” lanjut Yan. Ada nada geram dalam bicaranya.
“Dibawa tenang dan enjoy ajalah, Yan. Namanya di penjara, mana ada yang enak. Seenak-enaknya kamar sel, tetep nggak bakal bisa buat hati nyaman. Lakoni aja sambil ketawa-ketawa,” tanggapku dengan tersenyum.
“Aneh juga kalau di penjara bawaannya ketawa-ketawa, bang. Nanti dibilang gila beneran,” kata Yan, sambil tertawa.
“Nah, itu kamu ketawa. Nggak gilakan kamu, Yan. Maksudku ya seperti itu, tetep dibawa enjoy aja. Jangan gupekan. Santai aja. Cuma itu pilihannya hidup disini,” ujarku kemudian.
“Jadi biarin aja nanti aku ditempatin di kamar penaling mana aja ya, bang. Sebab istri masih nunggu kabarku. Kalau aku milih, dia nanti kontak petugas di depan. Petugas itu yang ngatur penempatannya,” kata Yan.
“Nggak usah minta-minta penempatan kamar, Yan. Bayar buat penempatan itu. Nggak recehan pula. Lebih baik, uangnya buat nyukupi kebutuhan kamu disini. Rata-rata perminggu di kamar penaling itu, sokongan Rp 250.000. Ketimbang misalnya, kamu keluar uang Rp 1 juta cuma buat milih kamar penaling, enakan buat bayar kebutuhan kamar sebulan,” kataku, mengurai.
“O gitu, bang. Jadi ada uang kamar juga ya nanti? Besar juga kalau segitu perbulannya,” sahut Yan, dengan wajah terbengong. Heran dan tampak kebingungan.
Aku hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum. Dan kemudian aku sampaikan, sebaiknya tidak memilih kamar penaling, terkecuali kamar terbuka seperti kamarku. Yang bisa bebas keluar masuk kamar kapan saja.
“Siap kalau begitu, bang. Terimakasih masukannya. Saya pamit ya, bang. Mau ke wartelsus, kasih kabar ke istri. Sebab dia nunggu keputusanku sekarang ini,” kata Yan, dan berdiri dari duduknya untuk menyalamiku serta beranjak pergi. Setengah berlari, ia keluar kompleks Blok B untuk menuju wartelsus yang ada di bagian belakang kantin.
Seperginya Yan, aku masuk ke kamar. Merebahkan badan di lantai. Meluruskan kaki. Menatap plafon. Menggeser berbagai pikiran yang memenuhi kepala. Menenangkan jiwa. Dan tidur.
Suara para tahanan setelah pintu kamar mereka dibuka oleh tamping kunci untuk menikmati kebebasan selama dua jam di luar kamar, membuatku terbangun. Setelah meminum air mineral yang ada di rak di atas tempat tidur, aku ke kamar mandi. Mengambil wudhu, dan berangkat ke masjid untuk solat Ashar.
Seusai solat, aku melihat beberapa orang tengah berkumpul di sudut ruangan masjid. Seorang tahanan yang bertindak sebagai penceramah, menyampaikan tausiyahnya. Aku pun mendekat. Ingin mendapatkan siraman rohani.
“Walau kita di dalam penjara, jangan berhenti untuk bersedekah. Bagaimana caranya? Seorang ulama salaf pernah menyampaikan, jika engkau membimbing orang lain kepada suatu kebaikan dan memperingatinya dari suatu keburukan, maka engkau telah bersedekah kepadanya dengan sedekah yang besar. Karena Allah terkadang memberikan manfaat lebih banyak dengan hal itu dibandingkan dengan harta,” kata sang penceramah dengan suara lantang.
Pria penghuni rutan yang menjadi penceramah petang itu, menambahkan, dengan pemahaman sedekah yang demikian, maka sudah menjadi kewajiban seluruh penghuni rutan untuk terus saling membimbing untuk kebaikan.
“Memang, disini tempatnya orang-orang bermasalah. Tapi jangan lupa, disini juga tempatnya hamba-hamba Allah memohon pengampunan atas kesalahan dan dosa-dosanya di masa lampau. Jadi, tempat ini sesungguhnya penuh keberkahan bagi kita yang berkeinginan kuat untuk memperbaiki diri dan berpikir serta berlaku tawadhu dengan mengharap surga Allah,” lanjutnya.
Selain pentingnya untuk terus bersedekah dengan mengajak kepada kebaikan, penceramah tersebut juga mengingatkan akan tetap wajibnya semua WBP menyampaikan rasa syukur kepada Allah.
“Wujud bersyukur itu bukan hanya bisa dilakukan melalui doa setelah solat, tetapi banyak hal sederhana yang bisa kita semua lakukan. Menurut seorang ustad terkenal, wujud syukur kepada Allah itu bisa dilakukan misalnya, kalau lapar, ya makan. Kalau mengantuk, ya tidur. Jadi, tidak ada alasan buat kita untuk tidak terus bersyukur,” sang penceramah menambahkan.
Pada sebagian ceramah 10 menitnya, pria separuh baya itu mengajak untuk terus menambah ilmu pengetahuan selama menjalani hukuman.
“Tuntutlah ilmu setinggi-tingginya, walaupun tidak bisa mengamalkannya. Karena pohon yang besar dan tinggi, pasti sangat banyak manfaatnya walaupun tidak ada buahnya,” ujarnya, memberi kiasan.
Dengan mengutip perkataan seorang ulama, ia menambahkan, bunga yang indah hanya tumbuh di atas tanah yang lembut, bukan di atas batu.
“Begitupun dengan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, ia hanya tumbuh di hati orang yang merendah, bukan di hati orang-orang yang congkak dan keras hati,” tutur sang penceramah dan menutup tausiyahnya.
Sambil berjalan meninggalkan masjid, pikiranku dipenuhi oleh isi tausiyah yang aku dengar beberapa saat sebelumnya. Dan teringatlah aku akan pesan seorang sahabat, bahwa perubahan hanya dimiliki oleh orang-orang yang cerdas, dimulai oleh orang-orang yang ikhlas, dan dimenangkan oleh orang-orang yang berani. (bersambung)