Balada Seorang Narapidana (Bagian 187) -->

Balada Seorang Narapidana (Bagian 187)

Rabu, 06 Juli 2022, Rabu, Juli 06, 2022


Oleh, Dalem Tehang 


KALAU boleh tahu, pendekatan seperti apa yang Komandan lakukan selama ini?” tanyaku lagi.


“Pendekatan dengan cinta, pak,” ucapnya. Pendek dan tegas.


“Maksudnya, Dan?” kataku, menyela.


“Ya, kita dekati semua tahanan dengan rasa cinta. Kita ada di dunia ini kan karena cinta, pak. Cinta ayah ibu kita. Cinta mereka disatukan atas nama cinta Tuhan. Kan begitu,” ujarnya.


“Jadi, atas nama cinta kepada sesama itulah Komandan jalankan tugas selama ini,” kataku lagi.


“Iya, saya selalu niatkan menjalankan tugas sebagai ibadah dengan cinta. Kata seorang filosof terkenal, cinta itu mampu mengubah kekasaran menjadi kelembutan. Mengubah orang yang tidak berpendirian menjadi teguh. Mengubah pengecut menjadi pemberani. Mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan. Dan cinta itu pula yang membawa perubahan pada siang dan malam,” komandan pengamanan rutan menguraikan dengan penuh penghayatan. 


Aku terdiam. Kagum dengan keluasan pandangannya. Menempatkan cinta di atas segala praktik penugasannya sebagai pengaman rutan.


“Saya kagum dengan apa yang komandan sampaikan. Sangat menginspirasi,” tanggapku, apa adanya.


Pria berbadan tinggi besar dengan cincin batu berwarna hijau dan merah di kedua jari tangan kanan dan kirinya yang kekar itu, hanya tersenyum. Tetap penuh persahabatan dalam senyumnya. 


“Saya hanya menyampaikan apa yang saya tahu, pak. Saya bukan orang pandai. Hanya ingin terus belajar dan membaca saja. Dan berbagi pengetahuan. Karena saya tahu, semakin banyak kita mengetahui sesuatu, semakin kita sadar kalau kita tidak tahu apa-apa. Dan semakin mengakui, bila Allah-lah yang maha mengetahui segalanya,” ujarnya, beberapa saat kemudian.


“Saya ingin Komandan memberi saran untuk saya,” kataku, tiba-tiba.


“Saya pernah membaca buku, seorang ulama bernama Syekh Nazim Al-Haqqani, bicara begini: dalam masa-masa sulit, setiap orang harus duduk di sajadah dan berdoa memuliakan Allah dan Rasul-Nya. Itu adalah tempat yang paling aman di dunia ini, dimana tidak ada bahaya yang bisa mencapai dan mengancammu,” tutur petugas pengamanan rutan tersebut, dengan wajah serius.


“Alhamdulillah. Terimakasih banyak tausiyahnya, Dan. Sungguh ini luar biasa sekali untuk saya,” sahutku, sambil memegang kedua tangannya dengan menundukkan wajah. Khidmat.


“Jangan terlalu berlebihan menghargai seseorang, pak. Pun jangan berlebihan bila tidak menyukai seseorang. Biasa-biasa saja. Sebagai manusia, kita diberi kelebihan dan kekurangan. Yang penting, saling ikhlas dalam berteman. Karena di dunia ini, tidak ada yang kebetulan. Semua sudah terencanakan dengan begitu baiknya oleh racikan tangan Tuhan,” katanya lagi, tetap dengan tersenyum.


Di tengah kami berbincang, tamping waserda masuk ke Blok B. Membawa jualannya. Komandan pengamanan rutan memanggil. 


Meminta dua bungkus nasi ayam geprek. Dan setelahnya, ia buru-buru mengeluarkan uang dari kantong celana dinasnya.


“Saya aja yang bayar, Dan,” kataku dengan cepat. Dan bergerak ke kamar untuk mengambil uang.


“Nggak usah, pak. Karena saya yang manggil, saya yang bayar. Lain kali aja, pas kita ngobrol lagi, pak Mario yang bayar,” ucap pria itu, dengan suara serius dan mencegahku mengambil uang di kamar.


Setelah aku mengambil dua gelas air mineral dan sendok garpu, kami makan nasi ayam geprek. Sambil terus berbincang ringan. 


Sepoi angin malam yang melewati taman, menambah nikmat makan menjelang waktu subuh tersebut.


Tidak lama kemudian terdengar suara alunan ayat suci Alqur’an dari corong masjid. Komandan pengamanan rutan pun berpamitan.


“Saatnya saya pamit, pak. Jaga kesehatan, baik-baik membawa diri, dan terus fokus mendekat kepada Tuhan,” kata dia seraya menyalamiku, dan beranjak pergi.


Setelah membersihkan meja taman dan menaruh peralatan makan di kamar mandi, aku langsung wudhu. Berniat segera ke masjid untuk ikut jamaahan subuh. 


Namun tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Disertai suara petir yang bersahutan dengan kencang. Sinar kilatnya berseliweran di angkasa. 


Angin pun bertiup dengan kerasnya. Membawa percikan air hujan masuk ke kamar tahanan melalui jeruji besi. Rudy yang tidur di bagian depan ruang kamar 20, spontan terbangun. Karena tampias air hujan mengenai badannya. 


Sambil masih terkantuk-kantuk, Rudy duduk di kursi yang ada di depan tempat tidurnya. Melipat kakinya. Kedinginan. 


Terdengar suara tahanan dari kamar-kamar lain. Sama-sama terbangun mendadak, karena terpercik air hujan. Hujan memang semakin deras. Suara petir dengan pertanda kehadiran berupa kilatnya, terus berdentuman.  


Akhirnya, aku memilih naik ke kasurku. Melakukan solat sunah dan setelah adzan subuh menggema, melanjutkan dengan solat wajib dua rokaat. 


Selepas berdoa, aku merebahkan badan. Dan tidur. Sementara, suara air hujan yang ditumpahkan dari langit, masih demikian kencang menerpa atap asbes kamar tahanan. 


Aku baru terbangun saat kakiku ada yang menepuk-nepuk. Rudy yang melakukannya. 


“Ada yang nyari, om,” kata Rudy, begitu aku membuka mata. 


“Siapa?” tanyaku, dengan ogah-ogahan.


“Pak Hadi, dari Blok C,” sahut Rudy.


Aku langsung bangun. Aku mengenal pak Hadi. Pria baik hati yang harus masuk bui karena tersangkut kasus penipuan dan penggelapan akibat bisnis kopinya tengah terpuruk.


“Assalamualaikum. Maaf ngebangunin ini, pak Mario,” ucap pak Hadi, saat aku menemuinya di ruang depan kamar.


“Waalaikum salam. Nggak apa-apa, pak. Karena tadi hujan lebat, jadi enakan tidur,” sahutku, dan tersenyum.


Aku minta Rudy membuatkan kami minuman kopi hangat. Juga mengeluarkan satu bungkus makanan ringan yang ada di lemari makan. 


Sambil menunggu air yang dimasak di teko listrik mendidih, aku minta Rudy membersihkan kursi dan meja taman. Yang tampak masih basah akibat terkena air hujan beberapa jam sebelumnya.


Aku dan pak Hadi akhirnya terlibat obrolan di taman depan kamar. Sambil menikmati kopi hangat dan panganan kecil. Saat tamping penjaja makanan lewat, aku menawarkan untuk sarapan. Namun pak Hadi menolak.


“Memangnya sudah sarapan, pak?” tanyaku. Pak Hadi menggeleng. Tetap ada seulas senyum di bibirnya.


“Cukup kopi sama roti-roti ini aja, pak. Sudah bersyukur,” kata dia, beberapa saat kemudian.


Aku menunggu-nunggu, apa kepentingan pak Hadi menemuiku bahkan hingga membangunkanku saat masih tidur.


Namun, setelah berbincang cukup lama, tidak juga ia menyampaikan sesuatu yang penting. Tampaknya, ia hanya ingin bersilaturahmi dan mengobrol saja.


“Kalau ada yang penting, sampein aja, pak. Kalau tidak ada, saya mohon izin untuk mandi dulu. Gerah rasanya sudah siang begini belum mandi,” kataku, kemudian.


“Nggak ada yang penting kok, pak. Pengen silaturahmi dan ngobrol aja sama pak Mario. Silahkan mandi dulu aja. Saya izin duduk disini,” jawabnya, tetap dengan tersenyum. 


Mendengar jawaban pak Hadi demikian, aku menyadari, bila sebuah persahabatan yang jauh dari sembunyinya kepentingan sesaat, adalah suatu nikmat yang merawat jiwa dan pikiran yang tengah berada dalam siklus kehidupan tidak berkelaziman. (bersambung)

Berita Pilihan

berita POPULER+

TerPopuler